A. Hakikat dan Makna Nilai
Apa sesunguhnya nilai itu? Nilai atau value, berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Prancis Kuno valoir yang artinya nilai. Sebatas arti denotatifnya, valare, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai harga (dalam arti taksiran harga) [1]. Namun kalau kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Harga suatu nilai hanya akan menjadi persoalan ketika hal itu diabaikan sama sekali. Maka manusia dituntut untuk menempatkannya secara seimbang atau memaknai harga-harga lain, sehingga manusia diharapkan berada dalam tatanan nilai yang melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Untuk memahami makna dan hakikat nilai, berikut ini dikemukakan beberapa pengertian nilai menurut para ahli, sebagai berikut:
Menurut Mulyana Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.Definisi tersebut secara eksplisit menyertakan proses pertimbangan nilai, tidak hanya sekedar alamat yang dituju oleh sebuah kata ‘ya’.[2]
Menurut Kupperman dalam Mulyana Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihan di antara cara-cara tindakan alternatif. Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal yang mempengaruhi prilaku manusia. Pendekatan yang melandasi definisi ini adalah pendekatan sosiologis. Penegakan norma sebagai tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak baik.[3]
Kattsoff mengungkapkan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.[4]
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Sejalan dengan definisi itu maka yang dimaksud dengan hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupanya. Nilai bersifat abstrak, berada di balik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Berdasarkan tipenya, nilai dapat dibedakan antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk instrinsik. Nilai instrinsik adalah nilai yang memiliki harga dalam dirinya, dan merupakan tujuan sendiri. Sebagai contoh seorang yang melakukan ibadah Shalat memiliki nilai instrinsik dan instumental. Nilai instrinsiknya adalah perbuatan yang sangat luhur dan terpuji sebagai salah satu pengabdian kepada Allah swt, nilai instrumennya dengan melakukan ibadah shalat secara ikhlas dapat mencegah orang untuk berbuat jahat dan menjauhi larangan Allah swt.
Sadulloh mengungkapkan bahwa objektivisme nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pemahaan terhadap nilai jadi berbeda satu sama lainnya. Menurut objektivisme logis nilai itu suatu wujud, suatu kehidupan logis yang tidak terkait dengan kehidupan yang tidak dikenalnya, namun tidak memiliki status dan gerak dalam kenyataan. Menurut ojektivisme metafisik nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian daktif dari realitas metafisik.[5]
Dengan adanya system nilai atau system moral yang dijadikan kerangaka acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam sebagai wahyu Allah swt, yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw. Dimana nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan.
Nilai merupakan ukuran tertinggi dari perilaku manusia dan dijunjung tinggi oleh sekelompok masyarakat serta digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Nilai merupakan hal yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang yang menjadi subjek. Nilai merupakan tingkat atau derajat yang diinginkan oleh manusia. Selain itu, nilai juga merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar dan ditata menurut susunan tingkatannya. Adapun susunan nilai yang paling tinggi adalah nilai religius.
B. Dimensi nilai dalam kehidupan
Nilai adalah makna yang ada di belakang fenomena kehidupan. Ketika nilai berubah, fenomena dapat mengikuti perubahan nilai. Demikian pula, jika fenomena kehidupan itu berubah, maka nilai cenderung menyertainya. Keadaan itu terjadi karena salah satu cara mengamati nilai dapat dilalui dengan mencermati fenomena yang lahir dalam kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah membawa manusia ke dalam kehidupan modern yang serba hedonistik.
Dengan demikian, salah satu langkah penting dari keberadaan kita saat ini adalah bagaimana menciptakan kembali pembinaan nilai-nilai budi pekerti bangsa dengan keteladanan yang paripurna sesuai dengan tujuan pendidikan memanusiakan manusia menuju manusia yang kaffah.
1. Nilai Dalam Dimensi Keagamaan
Nilai bukan saja dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam masyarakat, akan tetapi dijadikan pula sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapat kan penolakan dari masyarakat tersebut.
Aspek nilai-nilai ajaran Islam pada intinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
a. nilai-nilai aqidah,
Nilai-nilai aqidah mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa sebagai Sang Pencipta alam semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala perbuatan manusia di dunia. Dengan merasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada dan Maha Kuasa, maka manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat dhalim atau kerusakan di muka bumi ini.
b. nilai-nilai ibadah,
Nilai-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai rido Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya
c. dan nilai-nilai akhlak..
nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan berperilaku yang baik sesuai norma atau adab yang benar dan baik, sehingga akan membawa pada kehidupan manusia yang tenteram, damai, harmonis, dan seimbang. Dengan demikian jelas bahwa nilai-nilai ajaran Islam merupakan nilai-nilai yang akan mampu membawa manusia pada kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak. Nilai-nilai agama Islam memuat Aturan-aturan Allah yang antara lain meliputi aturan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan .
2. Nilai Dalam Dimensi Sosial Budaya
Bertolak dari 'pengandaian' bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki memiliki sifat sosial, maka sebagai individu manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita menjadi bias dengan nilai-nilai yang tidak jelas asal mulanya, apakah nilai-nilai yang kita gunakan hasil dari budaya kita atau merupakan hasil yang diadopsi dari budaya luar, setiap nilai atau norma yang dihasilkan dari komunitas tertentu belum tentu sesuai pada komunitas lain, ada perbuatan yang dianggap baik oleh suatu masyarakat, tapi dinilai buruk oleh masyarakat lainnya. Kondisi inilah yang memperkuat aliran relativisme, dan orang-orang menyebutnya relativisme dalam kebudayaan .
Erich Fromm mengatakan bahwa relativisme murni mengklaim bahwa semua nilai adalah masalah selera pribadi dan tidak ada yang melebihi selera itu. Dasar filsafat Sartre tidak berbeda dari relativisme ini karena manusia bebas memilih proyek apapun, sejauh nilai itu adalah otentik. Erich lebih jauh mendeskripsikan bahwa di samping relativisme ada konsep lain, yang diyakini oleh manusia yakni konsep nilai-nilai pegabdian secara sosial. Para penganut konsep ini memulai dengan suatu pernyataan bahwa kelangsungan hidup suatu masyarakat dengan bermacam kontradiksinya menjadi tujuan utamanya, dan dengan demikian norma-norma sosial yang kondusif bagi kelangsungan hidup masyarakat merupakan nilai-nilai yang tertinggi dan mengikat individu.[6]
3. Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia
Sistem nilai yang dijadikan kerangka acuan untuk menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia adalah nilai yang diajarkan oleh Islam sebagai wahyu Allah SWt. Nilai dan moralitas Islam adalah satu kebulatan nilai yang mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Nilai di dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak yang semakna dengan etika. Perkataan akhlak sendiri berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khulukun” ( خلق). Secara etimologi akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tingkah laku atau tabiat. Walaupun akhlak sering dimaknai dengan etika atau estika Islam, tetapi akhlak memiliki karakteristik yang berbeda dengan etika. Kriteria tersebut adalah seperti tecantum di bawah ini.
(a) Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
(b) Sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
(c) Bersifat universal dan konperhensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
(d) Memiliki ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah dan akal manusia (manusiawi).
(e) Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju kepada keridhoannya.[7]
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Pertama, dilihat dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batal, diridhai dan dikutuk oleh Allah SWT. Kedua, dilihat dari segi operatif adalah fardhu, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Nilai-nilai yang tercakup di dalam sistem nilai Islam merupakan komponen atau sub sistem dari:
(a) Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam.
(b) Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
(c) Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berprilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu Islam.
(d) Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung inter-relasi dengan lainnya. Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya[8]
Chittick menggambarkan keterkaitan antara nafs, hati, akal, dan ruh yang memperlihatkan bahwa masing-masing istilah dalam penerapannya seringkali jumbuh, dan menunjuk kepada keserbaragaman tingkat realitas.
Kita, barangkali dapat mengatakan bahwa ruh memiliki wilayah yang paling luas mencakup keseluruhan realitas dalam (bathin) manusia; “akal” berada di bawah pemahaman ruh; dan kata “hati” menggarisbawahi kesadaran (yang bersumber dari ruh), khususnya kesadaran Tuhan. Sedangkan kata “nafs” menyeret jauh dari cahaya kesadaran ruh yang berasal dari perintah Tuhan (pengetahuan dan kesadaran). Seperti halnya jasad, nafs tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.[9]
Kita, barangkali dapat mengatakan bahwa ruh memiliki wilayah yang paling luas mencakup keseluruhan realitas dalam (bathin) manusia; “akal” berada di bawah pemahaman ruh; dan kata “hati” menggarisbawahi kesadaran (yang bersumber dari ruh), khususnya kesadaran Tuhan. Sedangkan kata “nafs” menyeret jauh dari cahaya kesadaran ruh yang berasal dari perintah Tuhan (pengetahuan dan kesadaran). Seperti halnya jasad, nafs tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.[9]
Keterkaitan antara ruh, qalb, dan nafs juga dijelaskan oleh Djawad Dahlan sebagai berikut. Di dalam nafs ada qolbu -sebagai sentral ruh- yang berisi sifat-sifat Allah, ilham moralitas, serta bibit iman, juga ada hawa yang merupakan dorongan-dorongan hasrat kebinatangan. [10]
Maka nafs harus dikendalikan jangan sampai didominasi oleh hawa (Qs: Al-Naziat: 40). Adapun ruh pada manusia merupakan kemampuan memahami pesan/ajaran/konsep yang secara ringkas disebut kesadaran.
Berkaitan dengan tanggung jawab manusia sebagai makhluk bebas, seperti telah disinggung di atas bahawa nilai moral sangat terkait dengan manusia, tegasnya pribadi manusia yang bertangung jawab, hal ini dikarenakan moral pada prinsipnya merupakan aktualisasi tanggung jawab manusia sebagai makhluk bebas. Hubungan nilai dengan tanggung jawab manusia dimisalkan umpamanya keadilan sebagai nilai moral, akan kehilangan nilai moralnya manakala tidak didasari oleh keputusan bebas manusia yang mesti dipertanggungjawabkannya.
1. Berkaitan dengan hati nurani, pada prinsipnya nilai moral menuntut perealisasian dalam tindakan manusia. Tuntutan seperti ini langsung atau tidak melahirkan desakan dari hati nurani manusia untuk mewujudkannya. Manusia akan merasa bersalah manakala ia melecehkan nilai-nilai yang sudah dimilikinya namun dilanggarnya, sebaliknya manusia merasa puas dan lega manakala nilai-nilai itu dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
2. Berkaitan dengan kewajiban, pada prinsipnya nilai moral seperti nomor dua di atas akan melahirkan apa yang disebut dengan kewajiban moral Kewajiban moral sebagai hasil dari tuntutan nilai moral seperti ini pada prinsipnya merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar, manusia akan sealalu memiliki kecenderungan untuk melakukan nilai-nilai moral selain sesuai dengan fitrah yang telah dimilikinya sebagai makhluk bermoral, juga nilai moral tersebut merupakan substansi dari perilaku moral itu sendiri, misalnya pada perilaku jujur, nilai moral pada perilaku ini memang ada pada perilaku jujur itu sendiri, tidak di luar atau konsekuensi dari perilaku itu sendiri.[11]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa eksistensialitas nilai moral sangat terkait dengan manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab, memiliki keinginan untuk mewujudkan nilai itu atas dasar desakan kesadaran dan kemauannya, Dan terakhir adanya tuntutan kewajiban dari subjek moral untuk bersedia menunaikan nilai moral itu dalam kehidupannya sekalipun tuntutan kewajiban itu ada kalanya dating dari luar diri subjek moral. Sedemikian rupa dapat pula dikatakan bahwa persoalan nilai moral tidak hanya pada kawasan ontologi-metaetika, atau epistemology-metodologi, tetapi juga kawasan prescriptive-implementatif.
Tegasnya memahami akan nilai dan mengetahui akan sumber-sumber dan dasar-dasarnya sama pentingnya dengan mengimplementasikan secara sadar akan suatu nilai moral dalam perilaku senyatanya. Khusus bagi terrealisasinya nilai-nilai moral dalam perilaku senyatanya oleh subjek moral dapat dikatakan pula bahwa internalisasi nilai yang pada prinsipnya adalah sangat bersifat individualistis, sehingga menjadikan individu secara psikologis memiliki kesadaran yang tumbuh dari dalam dirinya untuk bersedia secara ikhlas melakukan tuntutan nilai itu sendiri, kendatipun juga tidak dapat dinafikan peranan external pressure sebagai instrumen terwujudnya nilai dalam perilaku yang mana untuk yang terakhir ini hanya menjadikan individu konsumen moral.
F. Penanaman Nilai dalam Kehidupan
Melihat secara faktual bahwa ternyata kondisi masyarakat bangsa kita saat ini sedang dilanda 'kegersangan nilai', sehingga perlu untuk mencari solusi dari keadaan tersebut, minimal terdapat dua solusi yang dapat diupayakan:
1. Solusi Internal
Solusi internal ini merupakan proses pembinaan ke dalam, tentang bagaimana mengarahkan, membangun kembali jati diri, mengubah kebiasaan negatif perilaku bangsa ini dari mulai sikap individu masyarakat kita. Di antaranya membentuk pribadi-pribadi yang religi sebagai titik tolak penanaman akhlak bangsa.
Pendidikan merupakan instrumen terpenting dalam proses penanaman nilai secara internal. Mulyana mengartikan pendidikan nilai sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang[12]. Dalam pengertian yang hampir sama. Adapun Mardiatmadja dalam Mulyana mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.[13]
Hakam mengungkapkan bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi.[14]
Pendidikan nilai membantu peserta didik dengan melibatkan proses-proses sebagai berikut:
a. Identifikation of a core of personal and societal values (Adanya proses identfikasi nilai personal dan nilai sosial terhadap stimulasi yang diterima).
b. Philosophical and rational inquiry into the core (Adanya penyelidikan secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai dari stimulus yang diterima).
c. Affective or emotive response to the core (Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut).
d. Decision-making related to the core based on inquiry and response (Pengambilan keputusan berupa nilai-nilai dan perilaku terhadap stimulus, berdasarkan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang ada dalam dirinya).
Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai.
Djahiri mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai yaitu :
(1) Evocation ; yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya.
(2) Inculcation; yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap.
(3) Moral Reasoning; yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah.
(4) Value clarification; yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
(5) Value Analyisis; yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral.
(6) Moral Awareness; yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu.
(7) Commitment Approach; yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
(8) Union Approach; yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.[15]
2. Solusi Eksternal
Solusi ini dasarnya berhubungan dengan dunia luar, dengan latar belakang perubahan zaman yang ditandai adanya perubahan pesat dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan itu membawa kemajuan maupun kegelisahan banyak orang. Yang paling nampak adalah bahwa komunikasi dan informasi antar daerah dan antar bangsa berkembang begitu pesat, sehingga dunia terasa semakin kecil. Orang bahkan sudah kerap melihat keadaan ruang angkasa, yang dulu hanya dapat dibayangkan dan diimpikan.
Salah satu hal yang menggelisahkan adalah masalah moral. Perubahan pesat di banyak bidang menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral dan nilai kehidupan. Banyak orang merasa tidak punya pegangan lagi tentang norma-norma terasa tidak meyakinkan lagi, atau bahkan dirasa usang dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Orang juga tidak dapat hanya lari pada hati nurani, karena hati nurani pun merasa tak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti.
Dalam situasi itu dibutuhkan sikap yang jelas arahnya. Tidak ragu-ragu dalam menghadapi arus global yang sudah lewat ini, dan sekarang kita sedang menjalani hidup pasca global yang lebih parah lagi paradigma kehidupannya. Jadi solusi dalam tataran eksternal ini adalah, membangun kemampuan dari tiga sistem norma moral yang secara tradisional ditawarkan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain (relasional). Sebaiknya ketiga sistem ini dipadukan bersama untuk mencari kebenaran moral secara tepat, penilaian nilai moral atas sikap maupun perbuatan mesti dilihat dari kewajiban yang muncul dari halnya sendiri, dari tujuan yang hendak dicapai, serta dari mutu hubungan-hubungan dengan sesama dalam sikap atau tindakan tersebut. Hanya dengan demikian penilaian moral menjadi teliti dan seimbang, bahkan mampu melayani hidup bersama.
Oleh karena itu perlu kita sadari bahwa moral yang menyangkut individu (internal) mesti dibedakan dari moral yang menyangkut hidup dan urusan banyak (eksternal). Memang moral yang menyangkut individu pun punya kaitan dengan orang lain. Tetapi kaitannya itu tidak sekuat pada moral sosial yang langsung menyangkut orang banyak. Sebagai contoh nilai moralitas masturbasi, tidak menyangkut begitu banyak orang lain bila dibandingkan dengan nilai moralitas sistem politik atau sistem ekonomi. Karena itu tuntutan terhadap moralitas sistem-sistem sosial mesti lebih diperhatikan dibandingkan dengan tuntutan terhadap moral seksual individual.[16]
Dengan demikian, dalam menyikapi persoalan kontekstualisasi nilai dalam kehidupan pada zaman sekarang ini diperlukan kerja keras yang akurat dan terarah (gerechtigkeit). Tidak semua masalah sama pentingnya dan sama mendesaknya. Bahkan tidak semua masalah perlu dibicarakan. Maka dalam buku ini hanya masalah-masalah hangat yang disentuh, itupun secara singkat. Kita sudah berusaha agar pendekatan terhadap masalah kontekstualisasi nilai ini tidak terlalu teoretis, namun juga tetap menyodorkan argumentasi yang tidak semata-mata pragmatis. Norma nilai moral seringkali memang harus dikembalikan sampai pada 'nilai-nilai' yang hakiki. [17]
Karena itu, bila nilai kehidupan dihubungkan dengan perkembangan iptek yang amat pesat, benar-benar telah mengubah tatanan hidup yang serba mudah dan nyaman. Namun dibalik perubahan tatanan kehidupan yang bersifat materil itu sering melahirkan konflik nilai yang berkepanjangan. Konflik nilai terjadi dalam beragam jenis dan kompleksitasnya. Konflik nilai terjadi sebagai akibat adanya perubahan perilaku manusia yang terkadang bertolak belakang dengan nilai-nilai kehidupan yang semestinya menjadi rujukan kebajikan manusia.Tidak sedikit manusia menapaki kehidupannya dengan berusaha mengejar kesenangan materi dan kepuasan lahiriah. Dalam kondisi itu maka nilai bergerak mengikuti riak perubahan. Terkadang perubahan kehidupan dan pergeseran nilai itu terjadi jauh melampaui dugaan normal manusia, sehingga akhirnya, menyeret manusia pada situasi, yang dalam istilah David Peat yang diungkapkan oleh Rohmat Mulyana sebagai chaos and complexity. Dalam situasi seperti itu manusia dihadapkan pada persoalan rumit yang menuntut dirinya untuk segera menentukan identitas dirinya dan menetapkan posisinya sebagai manusia yang berbudaya dan berkesadaran agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Yang dimaksud dengan hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupanya. Nilai bersifat abstrak, berada di balik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Nilai merupakan ukuran tertinggi dari perilaku manusia dan dijunjung tinggi oleh sekelompok masyarakat serta digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Nilai merupakan hal yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang yang menjadi subjek. Nilai merupakan tingkat atau derajat yang diinginkan oleh manusia. Selain itu, nilai juga merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar dan ditata menurut susunan tingkatannya. Adapun susunan nilai yang paling tinggi adalah nilai religius.
2. Dimensi nilai dalam kehidupan
Nilai adalah makna yang ada di belakang fenomena kehidupan. Ketika nilai berubah, fenomena dapat mengikuti perubahan nilai. Demikian pula, jika fenomena kehidupan itu berubah, maka nilai cenderung menyertainya. Terdapat dua demensi nilai dalam kehidupan yaitu :
1. Nilai Dalam Dimensi Keagamaan
Nilai bukan saja dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam masyarakat, akan tetapi dijadikan pula sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat tersebut.
Aspek nilai-nilai ajaran Islam pada intinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
a. nilai-nilai aqidah,
Nilai-nilai aqidah mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa sebagai Sang Pencipta alam semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala perbuatan manusia di dunia.
b. nilai-nilai ibadah,
Nilai-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai rido Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya
c. dan nilai-nilai akhlak..
nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan berperilaku yang baik sesuai norma atau adab yang benar dan baik, sehingga akan membawa pada kehidupan manusia yang tenteram, damai, harmonis, dan seimbang.
2. Nilai Dalam Dimensi Sosial Budaya
Bertolak dari 'pengandaian' bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki memiliki sifat sosial, maka sebagai individu manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita menjadi bias dengan nilai-nilai yang tidak jelas asal mulanya, apakah nilai-nilai yang kita gunakan hasil dari budaya kita atau merupakan hasil yang diadopsi dari budaya luar, setiap nilai atau norma yang dihasilkan dari komunitas tertentu belum tentu sesuai pada komunitas lain, ada perbuatan yang dianggap baik oleh suatu masyarakat, tapi dinilai buruk oleh masyarakat lainnya. Kondisi inilah yang memperkuat aliran relativisme, dan orang-orang menyebutnya relativisme dalam kebudayaan .
3. Dengan adanya system nilai atau system moral yang dijadikan kerangaka acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam sebagai wahyu Allah swt, yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw. Dimana nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan.
4. Penanaman Nilai dalam Kehidupan minimal terdapat dua solusi yang dapat diupayakan: 1. Solusi Internal. Solusi internal ini merupakan proses pembinaan ke dalam, tentang bagaimana mengarahkan, membangun kembali jati diri, mengubah kebiasaan perilaku negatif dari mulai sikap individu masyarakat kita. Di antaranya membentuk pribadi-pribadi yang religi sebagai titik tolak penanaman akhlak bangsa. 2. Solusi Eksternal. Solusi ini dasarnya berhubungan dengan dunia luar, dengan latar belakang perubahan zaman yang ditandai adanya perubahan pesat dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan itu membawa kemajuan maupun kegelisahan banyak orang. Yang paling nampak adalah bahwa komunikasi dan informasi antar daerah dan antar bangsa berkembang begitu pesat, sehingga dunia terasa semakin kecil. Dalam situasi itu dibutuhkan sikap yang jelas arahnya. Tidak ragu-ragu dalam menghadapi arus global yang sudah lewat ini, dan sekarang kita sedang menjalani hidup pasca global yang lebih parah lagi paradigma kehidupannya. Jadi solusi dalam tataran eksternal ini adalah, membangun kemampuan dari tiga sistem norma moral yang secara tradisional ditawarkan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain (relasional). Sebaiknya ketiga sistem ini dipadukan bersama untuk mencari kebenaran moral secara tepat, penilaian nilai moral atas sikap maupun perbuatan mesti dilihat dari kewajiban yang muncul dari halnya sendiri, dari tujuan yang hendak dicapai, serta dari mutu hubungan-hubungan dengan sesama dalam sikap atau tindakan tersebut.
B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini, semoga dapat bermanfaat dan. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini karena keterbatasan materi yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar kami bisa menjadi lebih baik dalam meyusun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakam, Kama, Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press. 2002
Henry Hazlitt, The Foundations of Morality, (Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc., 1964
http://sofyanpu.blogspot.com/2009/05/kontekstualisasi-nilai-dalam-kehidupan.html
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994:690
Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa: Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. 2004
Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta. 2004.
mohamaderihadiana.blogspot.com/.../nilai-dalam-pandangan-islam
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2004
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994:690
[2] Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta. 2004.11
[3] Ibid.
[4] Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa: Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. 2004
[5] Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. (2004:23)
[6] http://sofyanpu.blogspot.com/2009/05/kontekstualisasi-nilai-dalam-kehidupan.html
[7] mohamaderihadiana.blogspot.com/.../nilai-dalam-pandangan-islam
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11] Henry Hazlitt, The Foundations of Morality, (Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc., 1964), hlm. 143-146
[12] Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta. 2004,19
[13] Ibib. 19
[14] Abdul Hakam, Kama, (2002), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press
[15] http://sofyanpu.blogspot.com/2009/05/kontekstualisasi-nilai-dalam-kehidupan.html
[16] ibid
[17] ibid
thanks Pak... materinya sangat membantu ;)
BalasHapus