group

Selasa, 20 Desember 2011

Strategi Pengembangan Budaya Agama

A. Budaya Dalam Komunitas Sekolah

Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya adalah bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola hubungan guru di sekolah. Hargreaves telah mengidentifikasi lima bentuk budaya guru, yaitu : Individualism, Balkanization, Contrived Collegiality, Collaboration, dan Moving Mosaic.

1. Individualism. Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar guru bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), sehingga kesempatan pengembangan profesi melalui diskusi atau sharing dengan yang lain menjadi sangat terbatas.
2. Balkanization. Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih mementingkan kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan.
3. Contrived Collegiality. Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi yang ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan bersama, konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa awal dalam membangun hubungan kolaboratif para guru.
4. Collaboration. Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya kolaboratif terdapat saling keterpaduan (intermixing) antara kehidupan pribadi dengan tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas perbedaan.
5. Moving Mosaic. Pada model ini sekolah sudah menunjukkan karakteristik seperti apa yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang “learning organisation”. Para guru sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil peran, bekerja secara kolaboratif dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.

B. Nilai-nilai (Religiusitas) Agama di Sekolah

Krisis moral tidak hanya melanda masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi juga meracuni atmosfir birokrasi negara mulai dari level paling atas sampai paling bawah. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih atau keja¬hatan yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para elit, merupakan indikasi kongkrit bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional.
Realitas di atas mendorong timbulnya berbagai pertanyaan tentang efektivitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyarakat telah gagal dalam membangun afeksi anak didik dengan nilai-nilai yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah (aktual). Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif un-sich, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral. Aspek afeksi dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.
Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati nurani" pribadi. Dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.
Istilah nilai keberagamaan (religius) merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata yakni: nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.
Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, terdapat beberapa sikap agama yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, di antaranya:
a. Kejujuran
Rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan, orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataan begitu pahit.
b. Keadilan
Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Meraka berkata, "pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.
c. Bermanfaat bagi Orang Lain
Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religus yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana sabda Nabi saw: "sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".
d. Rendah Hati
Sikap rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.
e. Bekerja Efisien
Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.
f. Visi ke Depan
Mereka mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya. kemudian menjabarkan bagitu terinci, cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap realitas masa kini.
g. Disiplin Tinggi
Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi
h. Keseimbangan
Seseorang yang memiliki sifat beragama sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khusunya empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.
Dalam kontek pembelajaran, beberapa nilai agama tersebut bukankan tanggung jawab guru agama semata. Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat mata pelajaran agama saja, tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya seorang guru matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya. Begitu juga seorang guru ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat pelajaran ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.
Budaya religius sekolah adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Menurut Glock & Stark dalam Muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:
a. Dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.
b. Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.
d. Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.
e. Dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

C. Strategi Mewujudkan Budaya Agama di Sekolah
Koentjaraningrat dalam Muhaimin mengatakan bahwa strategi pengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah, dapat dilakukan dalam tiga tataran, yaitu:
1. Tataran nilai yang dianut. Pada tataran nilai yang dianut, dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya para siswa terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Nilai-nilai yang bersifat vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (halb min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar.
2. Tataran praktik keseharian. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapanaction plan mengguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati, Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah.
3. Tataran simbol-simbol budaya. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis.
Tujuan utama pengembangan lingkungan sekolah berwawasan imtaq ialah keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman tentang agama. Dalam hal ini, yang diutamakan pendidikan agama (Islam) dalam mengembangkan lingkungan berwawasan imtaq bukanhanya knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktikan apa yang diketahui) setalah diajarkannya di sekolah, justru lebih mengutamakanbeing-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena itu, pendidikan agama Islam harus lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi samapi memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun konsep pengembangan lingkungan sekolah berwawasan imtaq meliputi:
1. Penciptaan Suasana Religius. Penciptaan suasana religius merupakan upaya untuk mengkondisikan suasana sekolah dengan nilai-nilai dan perilaku religius (keagamaan). Hal ini dapat dilakukan dengan: (1) kepemimpinan, (2) skenario penciptaan suasana religius, (3) tempat ibadah, (4) dukungan warga masyarakat.
2. Internalisasi Nilai. Internalisasi nilai dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang nilai-nilai agama kepada para siswa, terutama tentang tanggung jawab manusia sebagai pemimpin (khalifah) yang harus arif dan bijaksana. Internalisasi nilai merupakan suatu proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan, yaitu peserta didik. Penanaman dan menumbuhkembangkan nilai tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran. Internalisasi nilai, dapat dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya para siswa terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal.
3. Keteladanan. Anak dalam pertumbuhannya memerlukan contoh. Dalam Islam percontohan yang diperlukan itu disebut uswah hasanah, atau keteladanan. Berkait dengan keteladanan ini, persoalan yang biasanya muncul adalah (1) tidak adanya keteladanan atau disebut krisis keteladanan, (2) suri tauladan yang jumlahnya banyak justru saling kontradiktif. Anak juga tidak akan tumbuh secara wajar jika terdapat berbagai contoh perilaku yang saling bertentangan.
Keteladanan, menjadikan kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru agama dan petugas sekolah sebagai figur dan cermin manusia yang berkepribadian agama. Kepribadian kepala sekolah dalam memimpin sangat dibutuhkan siswa dalam rangka mengembangkan lingkungan sekolah berwawasn imtaq melalui keteladanan. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Keteladanan merupakan perilaku yang memberikan contoh kepada orang lain dalam hal kebaikan. Rasulullah saw sendiri sebagai Nabi dan pemimpin diutus ke dunia tidak lain adalah menyempurnakan akhlak, dengan memberikan contoh pribadi beliau sendiri kepada umat manusia.
1. Pembiasaan. Selain keteladanan, dalam mengembangkan lingkungan sekolah berwawasan imtaq, juga dibutuhkan pembiasaan. Imam Suprayogo, lebih lanjut menjelaskan bahwa secara sosiologis, prilaku seseorang tidak lebih dari hasil pembiasaan saja. Oleh karena itu, anak harus dibiasakan, misalnya dibiasakan mengucapkan salam tatkala bertemu maupun berpisah dengan orang lain, membaca basmalahsebelum makan dan mengakhirinya dengan membaca hamdalah, dibiasakan shalat berjama’ah, serta memperbanyak silaturrahim,dan sebagainya.
2. Membentuk Sikap dan Perilaku. Pembentukan sikap dan perilaku siswa berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi,brain washing dan lain sebagainya. Pembentukan sikap dan perilaku siswa oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan nasehat kepada siswa dan adab bertutur kata yang sopan dan bertata krama baik terhadap guru maupun orang tua. Proses pembentukan sikap dan perilaku siswa tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah dan guru agama saja, melainkan semua guru dan warga sekolah, dimana mereka berupaya untuk membentuk pola pikir, sikap dan perilaku siswa sesuai dengan ajaran agama Islam.
Iman dan taqwa merupakan salah satu prinsip penting di dalam keislaman seseorang. Imam Al-Raghib Al-Ashfahani dalam Mufradat fi Gharib Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan taqwa adalah sikap menahan diri dari dosa. Iman dan taqwa mula-mula merupakan pekerjaan hati, ia adalah keyakinan, konsistensi, dan disiplin diri. Dari hati inilah, seseorang kemudian menggerakkan dan memaksimalkan fungsi seluruh potensi anggota tubuhnya. Jika hatinya baik, alias bertaqwa, sikap dan kerja yang muncul adalah baik, demikian juga sebaliknya.
Dalam ajaran Islam, bahwa aktifitas keagamaan (IMTAQ) bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) dan yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata saja, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak yang hanya terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, pengembangan lingkungan sekolah berwawasan iman dan tawqa (IMTAQ) itu meliputi berbagai dimensi kehidupan manusia. Islam mendorong para pemeluknya untuk beragama secara utuh/menyeluruh (kaffah).
Menurut tafsir, strategi yang dapat dilakuka oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya agama (IMTAQ) di lingkungan sekolah, diantaranya melalui: (a) memberikan contoh (teladan), (b) membiasakan hal-hal yang baik, (c) menegakan disiplin, (d) memberikan motivasi dan dorongan, dan (e) pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya para siswa terhadap terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Nilai-nilai yang disepakati merupakan implikasi dari iman dan taqwa (IMTAQ) baik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal. Dalam tataran yang bersifat vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (hablun min Allah), dan harizontal dapat diwujudkan dalan hubungan sesama manusia atau warga sekolah dalam kehidupan seharai-hari (hablun min nass) serta hubungan manusia atau warga sekolah dengan lingkungan alam sekitar.
Seseorang yang hanya mementingkan ritual atau hubungan vertikal dengan Tuhannya dan kurang peduli terhadap hubungan horizontal atau sosial, berarti ia lebih mementingkan kesalehan indivisu, atau terjebak ke dalamhedonisme spritual. Menurut istilah Ibn Qayyim ia termasuk ahli ibadah yang hanya memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, bukan termasuk ahli manfaat, yang memberikan manfaat kepada orang lain.
Strategi dalam mengembangkan lingkungan sekolah berwawasan IMTAQ, dalam praktik keseharian dalam lingkungan sekolah, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku warga sekolah khususnya para siswa dalam kehidupan sehari-hari. Strategi dan proses mengembangkan lingkungan sekolah berwawasan IMTAQ tersebut, menurut Muhaimin, menjelaskan dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: pertama,sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah, kedua,penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut, dan ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosail, kultural, psikologik, ataupun lainnya.
Adapun startegi yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan lingkungan berwawasan IMTAQ, dapat dilakukan melalui:
1. Power Startegy, yakni strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan.
2. Persuative Startegy, yakni startegi yang dijalankan lewat pembentukan opini dan padangan masyarakat atau warga sekolah.
3. Normative re-educative, norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma kemasyarakatan lewat education. Normative digandeng dengan re-edukative (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru.
Pada startegi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punishment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atu mengajak kepada warganya dengan cara halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa menyakinkan mereka.
Anak dalam pertumbuhannya memerlukan contoh. Dalam Islam percontohan yang diperlukan itu disebut uswah hasanah, atau keteladanan. Berkait dengan keteladanan ini, persoalan yang biasanya muncul adalah (1) tidak adanya keteladanan atau disebut krisis keteladanan, (2) suri tauladan yang jumlahnya banyak justru saling kontradiktif. Anak juga tidak akan tumbuh secara wajar jika terdapat berbagai contoh prilaku yang saling bertentangan.
Selain keteladanan, dalam mengembangkan lingkungan sekolah berwawasan IMTAQ, juga dibutuhkan pembiasaan. Imam Suprayogo, lebih lanjut menjelaskan bahwa secara sosiologis, prilaku seseorang tidak lebih dari hasil pembiasaan saja. Oleh karena itu, anak harus dibiasakan, misalnya dibiasakan mengucapkan salam tatkala bertemu maupun berpisah dengan orang lain, membacabasmalah sebelum makan dan mengakhirinya dengan membacahamdalah, dibiasakan shalat berjama’ah, serta memperbanyaksilaturrahim, dan sebagainya.
Agar kepala sekolah mampu mengembangkan lingkungan sekolah berawawsan IMTAQ, ada beberapa unsur yang harus dibutuhkan, antara lain yaitu:
1. Visi ( vision). Untuk dapat memiliki visi yang baik, seorang kepala sekolah/madrasah harus memiliki pikiran yang terbuka, agar ia mampu menerima berbagai hal baru yang mungkin saja selama ini bertentangan dengan apa yang telah diyakininya.
2. Keberanian (courageness). Kepala sekolah/madrasah yang mencintai pekerjaannya akan memiliki keberanian yang tinggi, karena dengan kecintaan terhadap pekerjaannya tersebut berarti ia mengerjakannya dengan hati. Dengan pancaran keberanian dan dedikasinya terhadap pekerjaan tersebut kepala sekolah/madrasah akan mampu memberikan motivasi kepada pengikutnya atau memberikan teladan dan arah jelas.
3. Realita (reality). Kepala sekolah/madrasah harus mampu membedakan mana opini dan mana yang fakta. Ia harus mampu hidup dalam kenyataan yang ada. Jika kondisi sekolah/madrasah masih belum memiliki sumber daya yang cukup, maka kepala sekolah/madrasah harus mampu menggunakan fasilitas yang ada.
4. Etika (ethics). Kepala sekolah/madrasah berkerja dengan mendasarkan pada nilai-nilai kemanusian yang luhur, menanamkan dan menghukumnya bagi mereka yang melanggar nilai-nilai tersebut. Penanaman nilai-nilai di sekolah/madrasah akan membuat lembaga lebih produktif dalam bekerja.

















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Budaya dalam kuminitas sekolah. Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah. Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya adalah bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola hubungan guru di sekolah. Hargreaves telah mengidentifikasi lima bentuk budaya guru, yaitu : Individualism, Balkanization, Contrived Collegiality, Collaboration, dan Moving Mosaic

2. Nilai-nilai Agama di Sekolah
Budaya religius sekolah adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Menurut Glock & Stark dalam Muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:
a. Dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.
b. Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.
d. Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.
e. Dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
3. Srtategi pengembangan budaya agama dapat dilakukan dengan 3 cara, Yaitu :
a. Tataran nilai yang dianut. Pada tataran nilai yang dianut, dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua warga sekolah khususnya para siswa terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Nilai-nilai yang bersifat vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (habl min Allah), dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (halb min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar.
b. Tataran praktik keseharian. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapanaction plan mengguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati, Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah.
c. Tataran simbol-simbol budaya. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

0 komentar:

Posting Komentar